Menu Dropdown

27 March 2018

Sistem Pendidikan di Pesantren


Pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai karakteristik tersendiri, apa pun usaha yang dilakukan utnuk meningkatkan pesantren, namun dia tetap sebagai lembaga pendidikan Islam dengan karekteristik yang khas. Setiap pesantren di Indonesia pasti memiliki keunikan atau ciri khas masing-masing, tetapi secara umum pesantren memiliki karakteristik yang hampir sama, hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Samsul Nizar (2013:287) sebagaimana berikut:

1.    Materi pelajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab berbahasa Arab atau yang biasa disebut kitab kuning. Misalnya, bahasa Arab, nahwu, sharaf, kitab tafsir, fiqih, hadits, tasawuf, mantiq, dan lain-lain.
2.     Metode pengajaran.
Metode yang lazim digunakan dalam pendidikan di pesantren, yaitu:
a.       Wetonan, yaitu suatu metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajran dengan duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu dan biasanya santri memberi makna terhadap kitab yang sedang dipelajari.
b.      Sorogan, yaitu suatu metode di mana santri menghadap kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri, kendati demikian metode ini diakui paling intensif karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.
c.       Hafalan, yaitu suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Misalnya menghafalkan nadzoman imriti yaitu salah satu kitab nahwu yang mempelajari tentang tata cara membaca kitab gundul atau kitab kuning, atau menghafal nadzoman kitab amtsilatut tasrifiah (sorof) atau kailani yaitu kitab yang berkaitan dengan kata dasar dari bahasa Arab.
3.      Jenjang pendidikan
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seprti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajari. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam penddikan formal  pada umumnya, tetapi penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
4.      Fungsi pesantren
Samsul Nizar (2013:120) menyebutkan ada tiga fungsi pesantren yang menjadi karakteristik dari lembaga pondok pesantren, yaitu:
a.       Transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam.
Pesantren merupakan lembaga yang senantiasa memberikan pengajaran kepada santrinya dengan berbagai ilmu Islam, misalnya mempelajari Al-Qur’an, Hadits, fiqih, ushul fiqih, tauhid, tasawuf, tata bahasa Arab, dan lain-lain, yang kesemuanya itu bersumber dari berbagai literatur yang berbahasa Arab.
b.      Memelihara tradisi Islam.
Pesantren juga mengajarkan tata cara memelihara tradisi Islam, misalnya setiap malam Jum’at dilakukan kegiatan pembacaan Shalawat Nabi Muhammad SAW, yaitu kegiatan dibaan, berzanji, natsar, dan lain-lain. Tradisi-tradisi tersebut masih sangat sakral di kalangan pesantren.
c.       Reproduksi ulama’. Disebut reproduksi ulama, karena di pesantren ulama itu dibentuk. Setiap santri ditempa dan digembleng agar memperoleh dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan agama.
5.      Kehidupan kiai dan santri
Imam Bawani (1987:166) menjelaskan bahwa santri berasal dari istilah “cantrik”, yaitu murid  yang mengabdikan diri kepada seorang “pandita”, ini seperti dalam kisah pewayangan dan raja-raja zaman dahulu. “Cantrik” akhirnya menjadi santri, sedangkan pandita peranannya diambil alih oleh kiai di zaman Islam. Namun, Imam Bawani (1987:167) menjelaskan lebih lanjut, bahwa yang dimaksud santri di sini adalah mereka yang tengah menuntut ilmu di pesantren dan bermukim di pesantren, dan inilah keadaan yang paling umum.
Para santri yang tinggal di sebuah pesantren, biasanya terdapat bangunan yang mengelilingi, di bagian tengah bangunan biasanya ada sebuah masjid atau mushala sebagai tempat untuk beribadah dan kegiatan pendidikan. Di sebelah masjid atau mushala, biasanya terdapat rumah kiai sebagai pemilik dan pemimpin pesantren. Rumah kiai biasanya disebut dalem, dan dari sinilah kiai mengendalikan kehidupan atau aktivitas para santri, baik dalam bidang pendidikan maupun ibadah. Apabila jumlah santri sedemikian banyak, kiai bisa mendelegasikan sebagai wewenangnya kepda santri senior, yang biasanya dipilih dari mereka yang menonjol dalam bidang ilmu, akhlak, dan wibawa.
Berdirinya pesantren biasanya bermula dari seorang kiai yang menetap disuatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim di tempat itu. Keberadaan kiai dalam pesantren merupakan lambang kewahyuan yang selalu disegani, dipatuhi, dan dihormati secara ikhlas.
Para santri selalu berusaha agar dapat dekat dengan kiai untuk memperoleh berkah, sebab menurut anggapan mereka, kiai adalah tempat bertanya dan sumber referensi, tempat menyelesaikan segala urusan dan tempat meminta nasihat dan fatwa.

No comments:

Post a Comment